Jumat, 20 Agustus 2010

Dilema Kesempurnaan


Aku suka sekali menunggu senja. Siluetnya menghibur langit jiwaku yang mulai jemu meniti kisah sehari. Camar melayang berhambur melukis batas cakrawala. Aku, tetap berdiri. Angin datang mengantar bayangmu, menghembus aroma tubuhmu. Wangimu merasuk ke celah pori-pori, merambat ke ujung saraf penciuman. Kemudian menjalar ke ruang kepalaku. Dan meracuni otakku dengan sejuta kisah tentangmu.
Entah mengapa tubuhku tak bisa digerakkan. Selangkah pun tak bisa. Apa wajah tampanmu dengan bola mata cokelat yang membuatku seperti ini? Tertegun. Kita sama-sama berdiri di tepi pantai ini. Tak banyak bicara. Hanya dua pasang mata yang saling beradu pandang.
“Kau sayang padaku?”
“Kenapa kau tanya begitu, Sayang? Apa aku kelihatan tak menyayangimu?”
“Habis, sedari tadi kau hanya diam menatapku. Tak berkata satu pun! Aku kangen…”
Rasa rindu yang kutahan selama tiga tahun, membuncah. Lekas kuremas tubuh kekar di hadapanku hingga detak jantungnya bisa kudengar dari dada bidangnya. Begitu juga kau. Kau balas meremas tubuh mungilku. Dua tubuh berpaut di kaki ombak yang diam-diam mengikis pasir.
Aku rindu. Hanya kata itu yang mengalir deras dalam darahku, kini. Semoga juga kata itu yang mengarung dalam lautan hatimu. Aku dan kau tak berkata-kata lagi. Asyik mengulum rindu yang sejak tadi menari-nari dalam benak. Senja yang kian marak memerah, turut bersuka cita. Bisa kurasakan dengan anginnya yang datang menyapu sore itu dengan sangat lembut. Dan camar-camar, menyenandungkan romantisme. Sesekali berkejaran dengan kaki ombak yang nakal mengintai langkah kita.
“Kau tak pernah berubah, Sayang. Wajahmu, tubuhmu, rambutmu, sama seperti dulu. Parasmu sangat ayu tanpa polesan bedak yang tebal seperti gadis-gadis di sana. Apa hatimu juga masih tetap seperti dulu? Seperti janji yang kita ucapkan sejak kecil bahwa tak kan ada orang lain selain aku di hatimu?” lalu kau angkat daguku dengan ibu jari yang berpagut dengan telunjuk.
Kutatap mata cokelatnya. Tak berkata-kata.
Senyum manismu menyapu pelataran anganku hingga bersih dari bayang lain yang berguguran. Hanya tertinggal wajah tampan tirusmu yang bersemai, tumbuh di halaman rinduku yang subur. Tawa ceriamu berlari-lari. Mengejar mentari ‘tuk kau persembahkan sebagai penghangat pagiku. Yah, kau datang menyambut hariku bersama gelak tawa Sang Surya. Lalu kau sodorkan waktu yang merentang, serasa ingin mendekap erat ruang hidupku. Kemudian kau julurkan tanganmu yang tiba-tiba berubah menjadi sepasang sayap. Tak ragu kau kepakkan sayapmu, membawaku terbang melintas khayalan manis bersamamu.
Jiwaku terbawa udara hangat yang sejuk. Angin semakin kencang, membuat kedua tanganmu menyibak lembut rambutku di balik telinga. Wajahmu semakin mendekat, hanya berjarak dua senti dari hadapanku. Panah matamu menembus degub jantungku yang tiba-tiba berhenti karena anak panahmu menancap tepat di sasaran hatiku. Kau semakin mendekatkan wajahmu yang elok. Semakin dekat hingga bagian wajah yang sangat sensitif saling menyentuh. Bibirmu yang tipis kembali mencium alam bawah sadarku.
Lekas aku menghindar dari tatapanmu.
Begitu sempurna. Kau tuang berliter-liter kisah manis. Kau beri aku bergelas-gelas kenangan yang kau teguk. Kau ukir dinding hidupku hingga sesak dengan romantika. Ah, langkahku yang sejak tadi mengelilingi ingatan tentangmu terhenti ketika sebuah kerikil berada tepat di depan jari kaki, membuatku tersandung.
Aku terperanjat, spontan aku berlari dan terbang lagi ke alam yang penuh dilema. Kali ini aku pergi sendiri. Pergi menyusuri aroma yang tanpa kusadari ternyata sedari tadi berusaha masuk ke dalam saraf penciumanku, mendesak aroma tubuhmu tuk segera pergi, mengundang rasa ingin tahuku akan pemilik tubuh itu bersumber. Aku berlari. Terus berlari.
Jiwaku berkejaran dengan gundah yang deras mengguyur perasaanku. Maaf Sayang. Bibirku terlalu berat untuk mengucapkan kata itu padamu. Aku sendiri tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Apa yang ingin kucari. Kau sangat sempurna. Tak pernah menggores duri sedikit pun yang membuatku terluka dan sakit. Sekali lagi maaf beribu maaf.
Bermil-mil jalan kita lalui bersama. Bertahun-tahun kita jalani bersama. Hingga waktu yang memisahkan kita. Kau pergi ke luar negeri untuk mencapai studimu. Dan sudah setahun kau kembali ke daerah asalmu. Kau masih tetap seperti yang dulu. Lembut hatimu seperti kapas. Jalan yang kita lalui sangat mulus, sayang. Air yang kita seduh sangat tenang, bahkan pelan sangat mengalirnya. Coba saja jika ada sebuah kerikil yang dihantamnya, pasti air itu akan memuncrat sebagai reaksi dua partikel yang saling bertabrakan. Dan akhirnya dengan dorongan temannya, air itu akan kembali mengalir menuju muara melewati sisi kerikil. Dan coba bayangkan, ketika kita makan sayur tanpa garam, pasti akan hambar sekali. Mungkin aku terlalu sok tahu berbicara tentang hidup, tapi memang inilah yang mampu aku tangkap dan rasakan.
Jalanan yang kulewati semakin keras berbatu, bukan lagi pasir putih yang halus. Kumasuki gerbang hutan yang rimbun. Gelap. Namun aroma itu tak jua memudar. Semakin kumasuki rerimbunan itu dengan langkah hati-hati. Mengendap, toleh kanan, kiri, dan belakang takut-takut kalau ada yang menjeratku tiba-tiba. Sesekali aku melihat ke atas, berharap ada seberkas cahaya yang menuntun langkahku untuk menemukan pemilik tubuh itu. Aku semakin berhati-hati mengingat udara kian lembab membaluti sekujur tubuhku.
Kraaaakkk!!!
Aku dikejutkan dengan suara ranting patah yang kuinjak. Sekelebat bayangan tiba-tiba mendekap lamunanku. Tubuhku gemetar bak garpu tala yang saling berbentur hingga menimbulkan bunyi degub jantungku. Seketika udara menjadi dingin, kabut pucat, dan waktu tercekat dalam pencarianku yang tersekat. Sementara aroma tubuh itu semakin menusuk hidungku.
Seekor burung datang dengan selembar kertas yang tepat jatuh di kakiku, tiba-tiba. Cepat kuraih dan bergegas membacanya,
“Apa yang kau cari?
Tak cukupkah dia yang mengarung dalam luas hatimu?”
Batinmu,
Engsel tulangku seperti terlepas. Sum-sumnya keropos tergerogoti rasa yang kian mengikis. Gundahku tak mau menepi. Terus mengarung di lautan hatiku. Sesekali buihnya menghantam karang gelisah. Aku pun tersungkur di kaki absurditas yang mengakar.
***
Ada apa, Sayang?”
“Tak apa,” jawabku dengan tatapan nanar.
“Apa ada yang kau pikirkan? Kali ini aku tak ‘kan ke mana lagi.”
“Apa kau akan mencari pekerjaan di sini?”
“Yah, seperti yang aku janjikan untukmu.”
Bagai patung, aku tak berkutik dalam dekapanmu. Bisa kurasakan kebahagiaan memancar dari mata cokelat yang membuatku terpesona. Kau angkat tubuhku, lalu kita berputar di tengah pasir yang halus. Tak ada orang lain. Hanya kita. Hanya ada kita berdua yang beradu kebahagiaan di sebuah senja di pasir putih.
Ah, bahagia. Apa aku bahagia? Entahlah. Antara bahagia dan tidak. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Jujur, bukan kau yang ada dalam benakku saat ini. Bukan juga kenangan manismu. Tetapi, khayalan tentang sahabatmu. Yah, dia. Dialah yang mengusir bayangmu dari benakku. Dialah yang berdansa dalam pikiranku.
Maaf, sayang. Aku tak tahu bagaimana mengutarakannya, sedangkan kau, kau asyik dengan caramu sendiri. Tidak denganku.
***
Senja kian merayapi gelap yang datang bersama angin malamnya. Tak ada camar. Tak ada sunset. Hanya gemuruh ombak di hatiku yang meramaikan malamku denganmu. Temani kita yang tidur di atas pasir memandang kemilau bintang.

Jember, 30 November 2009
Phow

(Dimuat di Jambi Independent, 1 Agustus 2010)

Menatap Senja

Masih ingat terakhir kali kita bertemu di suatu sore, ketika mata air airmataku mulai memuntahkan partikel-partikelnya dan membanjiri senja hening itu? Kau selalu meminta maaf ketika butiran air mulai jatuh dari sudut mataku.

“Maaf kalau aku selalu membuatmu menangis,” katamu saat memelukku. Erat. Hingga aku bisa merasakan detak jantungmu bertabuh.



Aku dan kau tak saling berkata lagi. Aku sibuk dengan pikiranku yang bergemuruh. Lantas, petir menyambar dan memorak-porandakan seisinya. Awan hitam kian menggelayut di mega mendung. Sedangkan kau, mungkin juga sedang sibuk dengan perasaan galau, ketika sesekali kupandang wajahmu di balik lengan yang merengkuhku. Mungkin juga kau sedang mencoba menjawab berondongan pertanyaan : ”Mengapa setiap kali kau bertemu denganku selalu menitikkan air yang meleleh dari sudut matamu? Apa aku sering membuatmu sakit hati? Apa aku gagal membuatmu bahagia? Bagaimana hal ini bisa terjadi, sementara selama ini kau tak pernah berkomentar tentang caraku menyayangimu? Malah, pernah kau bilang lewat pesan singkat bahwa kau sangat berterima kasih padaku untuk semua yang pernah aku lakukan…”

Sunyi.

Dan kita, sama-sama hanya memilih untuk menatap senja.

Hening.

“Maaf, Sayang. Aku masih belum bisa membahagiakanmu. Akan kuterima segala yang menjadi keputusanmu jika aku hanya menjadi beban dan selalu membuatmu menangis.” Ini kali kedua kau berbicara dan meminta maaf pada pertemuan itu. Kali ini kau lepas pelukanmu dan mengangkat daguku dengan ibu jari dan telunjuk yang bertaut.

Aku tak kuasa balas menatap matamu ketika kau coba menatap mataku. Kali ini aku yang balas memelukmu. Bahkan jauh lebih erat.

Lagi-lagi kita memilih bungkam.

Tak lama di keheningan itu, kutata pikiranku. Mencoba membaur bersama ketenangan. Dan mulai kubuka bibirku.

“Bukan, Sayang. Bukannya kau gagal membahagiakanku, tapi lebih dari mampu membangkitkanku dari terpaan badai. Dengan tulus kau lakukan apa pun untuk memunguti sisa-sisa jiwaku yang terhempas. Dengan hati-hati dan seksama kau rangkai serpihan itu hingga utuh kembali. Kau bahkan mampu membuatku tenang ketika ombak mengombang-ambingkan jiwaku. Karena itulah air mataku selalu meleleh saat berada di sampingmu. Karena kau selalu bisa menenangkanku ketika pikiranku kacau dan kau menjadi sandaran yang nyaman untuk meluapkan segala risau selama kita tak bertemu. Aku tak menuntutmu selalu ada di sampingku, karena aku tahu kau juga butuh proses menuai intisari kehidupan untuk memasuki ruang dewasa.”

Kau semakin erat memelukku. Dengan lembut mengecup keningku.

Senja itu mulai merayapi gelap. Diam-diam bulan merambat dan mengintip kita di balik awan…



Jember, 21 Okt 2009
Phow

Setelah Senja Itu...

Ada yang meletup-letup dari dadaku. Serasa menerjang-nerjang ingin keluar, menjebol dinding hati yang kokoh kubangun dari sejumput prinsip dan segenap keyakinan. Aku mencoba menahannya. Bersama dingin malam yang memekik, terus berusaha kukunci rapat-rapat dinding itu. Namun, tetap saja dia tak mau menyerah mematahkan kunci-kunci yang kupasang erat, bahkan sangat kuat.



Kembali menerjang-nerjang. Salah satu kunci mampu dia patahkan, dan yang satu lagi hanya menunggu hitungan menit setelah itu, patah, lepas, dan …, mungkin jika dinding itu jebol, dia akan meluber ke mana-mana, bahkan mungkin akan menenggelamkanku sendiri.

Tak banyak yang bisa kulakukan dalam situasi yang mencekam ini. Kuputuskan mengunci satu lagi pintu, yang kali ini aku yakin mampu meredam hasratnya untuk menerjang. Tak hanya itu, bahkan pintu ini akan mampu membungkamnya dan dia akan menyerah. Yah, kututup dan kukunci erat-erat alam pikirku dari bayangan seseorang.

Benar saja, dia bungkam. Lima menit berlalu. Tak ada gerakan perlawanan. Dia diam.

...

Praaaaakkkkk!!!!

Rupanya diam-diam dia membangun kekuatan dan berhasil menjebol satu-satunya pintu yang menjadi harapanku, pintu alam pikiranku. Tampak senyum lebar di wajahnya, sedikit memicingkan mata, tanda mengejek. Tanpa basa-basi, dia berbaur dan menghantam sunyi yang mendesaknya hingga terhimpit oleh berjuta rasa. Kini, menenggelamkanku dari sesaknya udara yang kuhirup.

Menjelmalah dia di hadapanmu sebagai sebuah kata yang sangat berat kuucap. Sayang. Matamu pun tebelalak dan benakmu terperanjat mendapatiku datang bersamanya di hadapanmu. Kau diam. Entah rasa seperti apa yang kini melindapi jiwamu.

“Maaf, aku tak mampu lagi menahannya. Dia begitu kuat untuk kulawan. Begitu kuat hingga menjebol dinding yang sudah kubangun dengan komitmen kita.” Tak terasa linangan air mata menyambut kalimat yang kuucap. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku yang saat itu mungkin semerah langit senja.

Kau hanya diam di balik jeruji sunyi yang mengurung jiwa kita, kala senja itu. Jika boleh menebak, hati kita sama-sama bergejolak seberti debur ombak yang menghempas karang di pantai itu.

“Aku tak mungkin menyayangimu, Rianti.”

Sepatah kalimat akhirnya muncul dari bibirmu. Aku tak mampu lagi menatap matamu yang memandang jauh ke laut lepas.

Kutanya mengapa, tapi tak pernah ada jawaban yang keluar dari mulutmu sepanjang senja. Hingga detik ini, masih tak ada jawaban. Entah apa yang membuatmu membisu tentang hal itu, aku tak begitu peduli. Entah perasaanmu masih sama seperti dulu atau berubah, aku juga tak begitu peduli. Karena aroma tubuhmu masih melekat pada ruang hatiku di cahaya emas terakhir yang memantul dari lautan, ketika itu. Karena namamu dalam terukir di relung hatiku. Karena bayangmu, tertanam di setiap ruang pikiranku. Karena dirimu, selalu bersangkar di sudut jiwaku. Dan, inilah yang membuatku merasa selalu dekat denganmu.

Entahlah, kau juga merasakan hal yang sama atau tidak…


Jember, 2 Oktober 2009
Phow

Senja yang Akan Kau Kirim

Ketika dua bola mata saling menatap, seberkas cahaya muncul menerobos pupil yang kian mengecil, menghunus lorong bathin di hela tatapan nanar penuh harap.

Apa kau masih tak tau arti tatapanku? Mengharap balasan cinta darimu yang meskipun aku tahu dan yakin, tak akan kau berikan untukku, kekasih sahabatmu. Tapi bukankah itu mungkin? Mungkin saja kita bisa bersama, bukan? Bukan tidak mungkin, Kawan.

Tapi aku bukan siapa-siapa yang bisa mengatur hidupmu bahkan mengatur cintamu untuk siapa. Tapi jika boleh, aku ingin mengatur cintamu hanya untuk aku. Hanya untuk aku, kawan. Sudah lama aku memendam rasa ini. Sekitar enam bulan, sejak pacarku pergi ke luar kota untuk menghadiri suatu acara. Sejak itu aku selalu bercerita tentang apa yang aku hadapi dengan tujuan meringankan sedikit bebanku. Mungkin kau mengira begitu. Tapi bukan itu maksudku. Aku ingin lebih dekat mengenalmu. Lebih dekat dengan menilai bagaimana kamu dengan saran-saranmu. Dan aku sangat kagum ketika menyimak saran-saranmu yang bijak, tentunya menurutku, karena itu sangat subjektif sekali.

Apa kau masih tak mengerti juga ketika aku selalu bercerita tentang masalahku lewat sms yang kutujukan ke nomor ponselmu? Aku tak tahu apa ini rasa sayang, cinta, suka, atau hanya sekedar kagum padamu yang menurutku sangat bijaksana dan berintelektual. Selama enam bulan, selama enam bulan rasa itu bersarang di hatiku. Apa itu masih hanya sekedar rasa kagum? Kau dan kasihku orang yang sama-sama bijak, berintelektual, dan sangat mantap memahami atau mendedah permasalahan. Setelah tiga tahun aku mengisi hidupku dengan kasihku, kehadiranmu tiba-tiba mengubah suasana hatiku. Aku lebih memilih kamu. Bukan tak mungkin kan, jika aku menyukai orang lain setelah menjalin hubungan selama tiga tahun?

Atau, aku ini sudah tak waras? Sampai detik ini pun aku masih menanti untaian kata dari bibirmu meskipun kau tak menyukaiku. Asal kau bicara saja aku sudah lega.

Kau memang orang peka dan sahabat yang baik. Akhir-akhir ini sikapku pun berubah terhadapmu, kau mengetahuinya, kau sangat peka. Dan kau tak sungkan menanyakan apa yang terjadi denganku kepada kasihku karena sikapku agak aneh ketika bertemu denganmu. Dan kasihku pun bertanya padaku tentang hal itu.

Aku kirimkan sebuah lukisan fajar. Kau tahu maknanya? Aku suka sekali pada fajar. Kedatangannya selalu kunanti. Tahu kenapa? Karena aku ingin cepat-cepat bertemu kau. Karena aku ingin menjemput pagimu di fajarku. Karena aku sangat bersemangat ketika bertemu denganmu. Karena kini kau menjadi semangatku kala fajarku terbit dan akan selalu tetap menjadi fajar ketika bertemu denganmu. Karena kamu angin penyejuk saat fajarku tiba. Karena kau pewarna fajarku yang hitam keabu-abuan menjadi biru, merah, orange. Karena kau kini menjadi penerang fajarku dengan senyummu yang membiaskan cahaya sunrise.

Dan aku pun sebenarnya tahu apa yang akan kau kirim sebagai balasan. Aku memang dungu, goblok, dan tak tahu diri. Mencintai orang yang jelas-jelas sudah kutahu tak mencintaiku sama sekali. Tapi apa ada yang salah dengan perasaanku, Kawan?

Mungkin, kau akan membalas dengan mengirimkan senjamu. Senja yang sangat kau nantikan kehadirannya, berbeda denganku. Karena kau tak sedemikiannya, seperti aku mengirimkan fajar untukmu. Karena kau sangat menjaga jarak dan menjaga perasaan sahabatmu. Bukan begitu, Kawan?

Mungkin surat ini akan kuakhiri sengan menutup fajarku dan menggantikan dengan senja dimana sang mentari yang melintas cakrawala membenamkan diri, menjemput gelap.

***

Angin mulai mendesir, menyeret awan merambat di wajah bulan yang pucat pasi. Dan angin pun mulai berderit, menutup hari yang retak oleh waktu.



Jember, 27 Juni 2009
Phow,

Ibuku, Sosok yang Hebat – IV

Aku selalu ditakutkan dengan perlakuan ayah yang semakin hari semakin tak bisa kumasukkan ke ruang rasionalitas. Kejadian yang mendorong ibu hingga berdarah, masih menjadi remang-remang langkahku. Aku menjadi semakin takut jika melihat sosok ayah karena tak seperti yang kubayangkan waktu aku masih TK. Sosok ayah yang bisa membuat ibu bahagia. Sosok ayah yang menghiburku dengan membelikan sebuah es krim sebagai hadiah. Sosok ayah yang mampu mengayomi keluarga. Eh, ternyata sangat berbanding terbalik sejak aku memiliki sosoknya hingga aku beranjak menjadi ABG yang menginjak kelas dua di SMP favorit di kotaku.

Beberapa hari lalu, lagi-lagi ayah menganiaya ibu. Menjambak rambutnya kemudian diseret dari ruang tengah sampai ke teras depan rumah karena hal serupa, tak mampu menghidangkan daging permintaan ayah karena memang penghasilan ibu dari berjualan rujak tak lebih dari Rp. 15000,- per hari. Nasi berserakan. Aku melihat raut wajah ibu yang merah menahan sakit. Sudut bibir kirinya berdarah. Aku tak tahan melihat ibu dianiaya dan dihina. Ibu dituduh selingkuh ketika ayah tak ada di rumah. Dituduh menjadi seorang pelacur. Sungguh tak bisa kumaafkan jika aku hanya berdiam diri melihat ibu kesakitan.

Kuberanikan menampik tangan ayah dengan segala jurus yang pernah aku pelajari dulu waktu masih aktif di Karate-Do. Sudah kuduga jika ayah akan berbalik menyerangku. Kusuruh ibu cepat pergi. Tubuhku yang kecil kurus terpanting saat ayah memukul punggungku dan aku jatuh terseret hingga di depan pintu. Tak ada jalan lain selain aku harus meninggalkan rumah. Kubuka pintu dan bergegas lari menyusul ibu. Dengan napas yang berkejaran aku berusaha lolos dari cengkeraman ayah dan benar saja, ayah yang usianya mulai tua, tak sanggup mengejarku. Aku lari tunggang langgang. Tuhan, durhakakah aku? Maafkan aku..

Tak tahu ke arah mana aku lari. Gang-gang sempit aku lewati. Aku berhenti di sebuah gubuk yang ada di lapangan rumput yang tak terawat di sebuah kampung yang tak aku tahu di mana saat ini aku berada. Kulihat seseorang berlari menuju arahku. Aku bersiap melarikan diri lagi. “Tunggu!” orang tua itu tersengal-sengal mengeluarkan nafasnya yang pendek. Kuhentikan langkahku.

“Ibumu, sekarang ada di rumahku, tak jauh dari sini. Tadi beliau melihatmu berlari melewati depan rumah dan dia bilang kalau kau putrinya.” Sepertinya bapak ini mengerti jika aku ragu padanya, “Tenanglah, aku bukan orang suruhan ayahmu. Mari ikut Bapak.” Senyum bapak itu membuatku lebih tenang.

***
Oh, rupanya ibu sudah terlelap. Kasihan ibu, selalu menjadi korban ayah yang tak berhati. Kuseka wajahnya yang penuh luka dengan sapu tangan dan air hangat. Parasnya tetap memanarkan keteduhan. Tak sadar air mataku mulai menggunung, meleleh membasahi pipi ibu. Kudekap ibu erat-erat agar tak ada siapa pun yang berani mengganggunya lagi.


Jember, 27 Mei 2009
Phow

Ibuku, Sosok yang Hebat - III

Ibu kadang kala merindukan senjanya yang memerah meskipun sosok yang diinginkannya nyata hadir sejak tiga tahun lalu, tepatnya aku masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar Negeri Jember Kidul 03. Sepoinya membuat jiwa seakan dimanjakan oleh alam. Heningnya menentramkan setiap relung yang kesepian.

Benar saja, yang aku takutkan selama ini, sekarang terjadi. Bukan hanya ibu, aku juga sangat menginginkan senjaku, senja ibu yang mampu menghibur hati kami. Hidup dengan sosok seorang ayah ternyata tak selama mampu menyempurnakan hidup berkeluarga, bagiku. Ternyata pula hidup belasan tahun tanpa seorang ayah dapat membuatku semakin mengerti apa yang disebut hidup dan tanpanya aku lebih bisa menikmati wajah ayu ibu yang penuh kerutan siksa batin.

“Bu, kenapa Ibu masih mau sama Ayah?” pertanyaan itu tiba-tiba muncul mengingat kejadian sepulang sekolah kemarin secara tak sengaja aku melihat ayah sedang membuang nasi dan piring yang ibu dapatkan susah payah hanya karena hidangan yang mampu ibu sajikan berupa nasi, tahu, tempe, dan sambal terasi. Ayah tak hentinya memaki ibu. Mendorong ibu hingga kepalanya terbentur gagang besi sebuah lemari piring. Darahnya mengucur dan ibu hanya tersenyum ketika kudapati sebuah tangannya menyanggah kepalanya. Aku terdiam di sudut ruangan itu dengan gemetar dan semakin bergetar ketika ayah mengetahuiku ada di pojok situ. Aku menjerit dan menangis saat ayah tiba-tiba menghampiriku dan mendorongku hingga terjerembab, “Dasar anak haram!!” Aku semakin tersudut
Penuh ketegaran, ibu memunguti keping-keping sisa hati ayah yang berserakan. Lagi-lagi tak setitik air meleleh dari pelupuk matanya.

Ibu selalu menjawab dengan senyumnya yang khas. Oh, ibu sungguh mulia hatimu. Tak kau pedulikan sebilah pisau menyayat hatimu demi kasihmu yang tulus. Pedih sudah menjadi bumbu yang menyedapkan hidupmu. Bu, semoga suatu saat nanti aku bisa memeluk hatimu dan membersihkan luka-luka itu, batinku.

Senja kian marak menampilkan wajahnya yang sepi. Memanggil bulan yang meremang sendu, menatap punggung ibu yang berlalu. Adzan maghrib sayup-sayup menghibur hati kami.





Jember, 27 Mei 2009
Phow

Ibuku, Sosok yang Hebat - II

Aku tumbuh menjadi seorang siswa di Taman Kanak-Kanak Kuncup Bunga. Letaknya tak jauh dari rumahku, persis berada di sebelah kanan gang rumah. Setiap pagi Ibu yang mengantarku ke sekolah selama hampir dua bulan. Setelahnya, aku belajar berangkat sekolah sendiri.

Aku cukup menjadi siswa berprestasi di TK Kuncup Bunga sejak kelas nol kecil hingga bertahan di kelas nol besar yang pernah menoreh juara menari, bernyanyi, mewarnai, dan juga juara melukis.

Waktuku kuhabiskan bersama ibu, lagi-lagi tanpa ayah meskipun jelas-jelas ada. Ah iya, ke mana ayahku ya? Ibu selalu tersenyum ketika aku bertanya tentang keberadaannya di suatu pagi pada hari sabtu, “ Ayahmu sedang bekerja, Nduk. Nanti sore juga akan datang.”
Aih, senyumnya itu loh yang membuatku semangat mengisi hari-hariku tanpa kehadiran seorang ayah.

“ Ibu, ayah mana? Kata Ibu sore ini datang? Nanti kalo datang, Ara mau minta beliin es krim,” tanyaku sambil duduk manja di pangkuannya.


* * *

Sudah satu minggu berlalu, tapi sosok itu tak jua muncul.
Detik itu, aku menunggu kehadiran ayah di senja yang mulai memerah bersama ibu di depan teras rumah. Cericit burung walet meramaikan langit hati kami yang sedari tadi membisu. Sesekali aku memandang wajah ibu. Tampak goresan rindu bercampur guratan pedih yang bersangkar di wajahnya. Aku memeluk ibu dan mataku mulai sayup terantuk angin sunyi di senja hening.


* * *

Wuzzzz….

Tubuhku menggigil. Kedapati ibu masih tertidur dengan memeluk tubuhku. Ternyata angin subuh meraba kulitku hingga terbangun. Oh, kasian ibu kedinginan. Senja telah menjemput gelap yang bergegas memanggil pagi. Tak terasa tubuh kami tergeletak di teras depan rumah. Sesetia inikah kau menunggu ayah yang tak lagi peduli denganmu, Bu? Batinku.

“ Bu, Ibu, Bangun. Sudah Subuh ”
Ibu tampak terkejut kubangunkan. Dia langsung memelukku dan menggendongku. Aku kembali terlelap di gendongannya.

Lagi-lagi kehadirannya tak jua nyata.





Jember, 12 Mei 2009,
Phow

Ibuku, Sosok yang Hebat

Aku paling nggak suka kalau ada yang bercerita tentang ayah. Selalu saja menjadi sosok yang dibanggakan. Bagiku bukan ayah yang menjadi sosok hebat, tapi ibu. Mungkin karena sejak lahir bahkan sejak aku masih dalam kandungan, aku tak pernah merasakan kasihnya. Yah, mungkin.

Coba kau tanya ibuku, apa ayah ada waktu ibu melahirkan aku? Jangankan waktu melahirkan, waktu mengandungku di mana dia? Pulang dini hari, berangkat subuh. Selalu begitu kelakuannya. Pernah suatu ketika ibu dilempar vas bunga hingga dijahit alis sebelah kirinya karena terbentur vas yang atos itu. Apa masih bisa dijadikan sosok yang dibanggakan? Sosok yang kuat? Sosok yang jagoan?

Sampai-sampai hal yang sangat wajib tak digubrisnya. Kau tau siapa yang meng-adzani-ku saat aku hadir mencicipi udara dunia nyata ini? Lagi-lagi bukan seorang ayah yang seperti biasa mereka jadikan sosok hebat. Kakakku yang pertama dari 5 saudaraku yang meng-adzani-ku. Lalu, di mana peran ayah saat itu? Padahal jelas-jelas waktu itu ayah berada di ruangan sebelah ruang persalinan ibu.

Apa kau juga ingin tau apa yang dilakukan ayah saat ibu bertaruh nyawa mengeluarkanku dari ruang rahimnya yang sempit? Ah, hal ini membuatku semakin tak suka mendengar kata ‘Ayah’. Dia malah menutup ruangannya rapat-rapat hingga setitik sinar pun tak di izinkannya masuk. Apa aku boleh berkata ‘Muak’ dengan sebutan ayah? Yah, terserah kalian yang membaca dan menafsirkan.

Siapa bilang janin di rahim ibu tak bisa merasakan apa yang terjadi pada ibu? Masih ingat dengan apa yang kuceritakan di atas? Ketika ibu dilempar vas bunga atos yang menyebabkan alis sebelah kirinya dijahit, saat itu pula alisku terluka hingga kini masih menjadi saksi kesadisan ayah yang membekas di alis sebelah kiriku. Lagi-lagi ayah menjadi sosok yang menyeramkan dan menggeramkan bagiku.

Tak hanya itu sikap kasar yang ditunjukkan ayah yang ‘maha santun’, dia bilang ibuku seorang pelacur! Apa itu bisa dibilang santun?

Inilah yang aku suka dari ibu, ketabahannya, keikhlasannya, dan ketegarannya. Tak pernah membalas sikap ayah yang kasar dengan perlakuan kasar. Tak pernah membalas perkataan ayah yang tak santun dengan kata-kata yang tak santun pula. Ini sebabnya aku menjadikan sosok ibu yang kuat bak karang yang tak terkikis ombak.

Ibu, betapa menderitanya saat kau kandung aku. Tapi wajah dukamu tak pernah kau tunjukkan padaku. Ingin sekali aku merasakan lembutnya belaian tanganmu saat kulelap di pangkuanmu.

Aku tahu kau sedih, Bu, aku terlahir menjadi seorang pelacur.
Maafkan aku, Ibu…



Jember, 10 Mei 2009,
Phow

Hadiah Untuk Emak

Dia sosok gadis yang sangat kuat dimataku. Gadis yang berotot besi, bermental baja. Dia tinggal berempat bersama kakak perempuan, ibu, dan bapaknya. Kakaknya tidak bekerja, sedangkan ayahnya hanya diam, duduk meratapi nasib, shock sejak tertipu orang hingga tak punya apa-apa. Ibunya seorang ibu rumah tangga. Tidak bekerja, hanya menunggu gaji pensiunan suaminya yang berjumlah Rp. 500000,- per bulan untuk mencukupi dua orang dari enam anak. Keterbatasan itulah yang membuat ibunya sering meminjam uang sebagai tambahan makan sehari-hari. Menjual baju-baju beliau hingga hanya tersisa dua pasang. Pinjam dari tetangga hingga rentenir harian yang biasa ibu rumah tangga sebut sebagai ‘Abang’. Kau tahu, bunga per bulan pinjaman yang diperoleh dari Abang itu sebesar 10%! Kesana kemari, gali lubang tutup lubang dengan sisa tenaga dan wajah yang sangat teduh oleh goresan duri. Betapa tak pernah sempat beliau memandang pelangi, menikmati semilir angin, duduk di bawah pohon sambil mendengar lantunan gamelan, musik yang sangat disukainya. Atau duduk di gubuk beratap jerami yang mengalir sebuah sungai di sisinya, berawan sendu sekaligus menenun damai hilangkan gundah walau sekejap dengan musik kejawen hanyutkan kalbu dalam haru biru yang menggenang di pelupuk batin.

Seharian dia habiskan waktunya untuk bekerja membanting tulang mencari biaya pengobatan ibunya yang saat ini terbaring lemah di atas dipan kasur beralas segulung tikar dan selembar selimut ‘tuk membungkus tubuh ringkihnya agar hangat. Pagi hari dia gunakan untuk bekerja sebagai loper koran di persimpangan jalan raya. Tak peduli terik matahari membakar kulitnya dan angin menyapu wajahnya beserta debu, tak bersahabat. Asap-asap kendaraan tak membuatnya terusik. Tegak diantara gedung-gedung yang berdiri tegas dan menjulang di kaki langit.

Seperti biasa, pukul 07.30, sepulang ngloper koran, dia membeli makanan dan kembali ke rumah, merawat ibunya. Tak pernah kulihat dia mengeluh menjadi tumpuan keluarga meski usianya masih menginjak delapan belas tahun. Tak pula kudengar rintih penyesalan dari bibirnya. Juga tak pernah ada setetes air mata jatuh melukis wajahnya bersembur luka. Matanya berbinar, memancarkan cahaya bening menembus celah tulus yang bersembunyi di balik jantung hati.

Jam 08.30 ia kembali beraktivitas di kampus. Berbekal niat, dia pun akhirnya berangkat dengan berjalan kaki dari rumahnya menuju kampus yang berjarak kurang lebih empat kilometer. Uang yang dia peroleh dari bekerja, disimpan untuk biaya perawatan ibunya yang tak bisa berjalan hingga kini. Lagi-lagi uang. Uang bukan segala-galanya, tetapi segalanya butuh uang. Satu lagi yang kukagumi dari sosok sahabatku itu, dia tak pernah menyerah untuk melanjutkan pendidikannya dengan kondisi perekonomian keluarganya. Dia juga bekerja di salah satu Warung Internet ( Warnet ) di daerah sekitar kampus sepulang kuliah hingga pukul 22.00. Lelah tak jadi penghalang semangatnya. Api meletup-letup membakar kantuk dan malas. Demi masa depan dengan segenggam keinginan tuk raih harapan tebesar orang tua, khususnya ibu. Selain tuk biaya perawatan ibu, dia tabung sebagian upah kerjanya tuk biaya kuliah. Lagi-lagi berurusan dengan birokrat! Benar-benar birokrat ‘Sang Penjagal’! Tak peduli peluh nanah dan air mata darah membuncah membanjiri sepotong tubuh yang terbentuk dari puing-puing hati penguasa yang retak. Merobek angin di sudut cakrawala, usik cericit camar di wajah muram siluet. Betapa tak, masuk kuliah masih harus dibelit-belitkan dengan politik yang mereka buat sendiri. Setelah menjadi mahasiswa, masih dibelitkan dengan tetek bengek birokrasi yang memungut sumbangan liar. Sungguh, sebutir debu beranak pinak, menggumpal, erat menutup pintu hati mereka.
Tetap sama, tak pernah hal itu membuatnya rapuh dan tumbang. Jerih payah dilakukannya tuk raih asa yang merentang di hadapnya.

Sepulang bekerja, seperti biasa, dia belikan sebungkus nasi goreng untuk ibunya. Setelah merawat beliau, barulah dia pergi beristirahat. Mengiring bulan dalam mimpi sang bintang. Begitu aktivitas sehari-harinya. Tak dia pedulikan mata sembab merias parasnya yang elok.

Beberapa hari terakhir ini dia terlihat lelah, seperti layaknya orang kurang tidur. Ada lingkar hitam di sekitar matanya yang indah bak bola pimpong. Perlahan, diam-diam menyelinap dan bersangkar di balik kelopak mata, rasa kantuk menahan binar matanya yang hendak menerjang menembus selambu hitam, bebaskan cahaya. Layu seperti tanaman tak tercium tetes embun. Lunglai tak bertulang.
Sekali lagi, tak pernah hal itu membunuh semangatnya. Darah tekadnya mengalir di sela-sela nadi asa, kantuk pun tak kuasa melawan, luruh tak berdaya.

Kali ini, sepulang kerja, usai merawat ibunya, dia tak langsung pergi tidur. Diambilnya pena dan sebuah buku. Sambil merobohkan tubuh di atas kasur, dia peluk erat guling kesayangannya yang seperti lama sekali tak jumpa. Mulailah aksi ballerina sang pena. Indahnya sebuah tongkat pena menari-nari di atas salju putih, memadat. Goresan pena saling menyatu dari titik satu dengan titik yang lain. Melebur dalam sebuah aksara, membentuk kepulauan kata yang bernama kalimat. Disajikan dalam sebungkus cerita pendek penuh sajak indah nan nikmat. Tumbuh pula sepucuk puisi menyembur di atas siratan metafora.

Begitulah aktivitasnya selama beberapa hari terakhir ini. Pagi ngloper koran, terus kuliah dan siang hari bekerja di sebuah warnet. Pulang malam kemudian merawat ibunya yang makin lemah kondisinya. Setelah itu dia masih membuat cerpen untuk dilombakan yang dua hari lagi harus sudah dikirim.
Lagi-lagi rasa kagumku melayang mencari dahan dan hinggap di ranting niat tulusnya. Mulia sangat keinginan gadis itu. Sayap putihnya mengepak di angkasa, seperti siap meraih gilang gemintang yang sejak dulu menjadi impiannya.

***

Kicau burung di atas cemara menyambut pagi nan cerah. Embun datang membelai rerumputan. Semilir angin menyapa raja siang yang mulai menampakkan diri dari malam peraduannya. Pagi itu, hari yang dia tunggu. Hari dimana banyak orang berkumpul di depan salah satu universitas negeri di tempat dia tinggal, menunggu panitia membacakan pengumuman pemenang lomba cerpen yang dimeriahkan pula dengan pementasan teater oleh pihak penyelenggara.

Pamitlah dia kepada sang ibunda.
“Mak, Lina berangkat dulu ya. Ada Mbak Isah yang menemani Emak. Lina pergi sebentar kok, kalau ada apa-apa, tinggal bilang aja sama Mbak Isah. Doain yah, Mak. Nanti kalau menang kan lumayan bisa buat biaya berobat Emak, biar Emak cepat sembuh dan bisa jalan lagi.”

“Maafkan Emak ya, nduk. Emak nggak bisa kasih kamu apa-apa. Nggak bisa biayain kamu kuliah. Kamu musti kerja cari, dari pagi sampai malam. Maaf ya nduk, emak hanya bisa ngasih do’a untuk kamu. Emak macam apa ini yang hanya bisa berbaring melihat anak kerja banting tulang untuk biaya Emak.”

“Sudahlah, Mak. Emak nggak usah kuatir. Lina ini kan sudah gede, jadi bisa jaga diri baik-baik. Lagian Lina masih muda, jadi masih kuat kerja apa pun. Memang sudah waktunya Emak menikmati masa tua Emak, Nggak perlu kerja lagi. Toh Lina ada kan untuk Emak. Emak jangan sedih lagi ya, Mak,” Lina mengusap air mata ibunya, “Sudah, Mak, nanti keburu telat Lina. Doain yah, Mak.”

“Iya, Emak selalu mendoakan kamu, nduk. Kelak kamu akan menjadi orang yang sangat sukses. Emak yakin dan kamu juga harus yakin nduk. Jaga diri baik-baik ya. Harus tetap tegar dalam menghadapi masalah. Hidup itu tantangan, jangan diratapi, tapi harus disiasati dan dihadapi. Jangan lupa sholat, memohon pada Yang Kuasa,” dibelainya rambut Lina sembari melepas senyum kecil di wajahnya.

“Iya, Mak. Nanti kalau lina sudah sukses, Lina mau naikkan Emak haji. Ya sudah, Mak, Lina berangkat dulu yah. Kalau ada apa-apa bilang aja sama Mbak Isah,” Lina mencium tangan ibunya.
Dengan hati yang mantap, dia berangkat dengan megenakan pakaian terbaiknya, hem warna hitam dengan jeans hitam. Rambut hitamnya dia ikat kuda. Berjalan dengan langkah pasti mengenakan sepatu kets hitam yang telah dipersiapkannya semalam.

***

Pementasan teater meramaikan suasana hari itu. Semua penonton dibuatnya terkesima dengan performance art mereka. Tak luput juga si Lina. Pementasan itu berlangsung kurang lebih tiga puluh menit. Sepuluh menit kemudian pembacaan pemenang lomba cerpen.

Lina terlihat pucat. Ada rasa cemas di senyum simpulnya. Keringat dingin terus membanjiri tubuh kuning langsatnya. Panas terik mentari tak bersahabat kala itu. Degub jantungnya serasa terdengar bak dentuman drum yang melantun cepat. Lina berusaha menenangkan diri.

Pengumuman pun dimulai. Juara harapan dua hingga juara dua telah dibacakan oleh Master of Ceremony ( MC ). Tak satu pun tersebut namanya di sana. Lina tampak semakin gelisah. Tak hanya degub jantungnya yang terdengar, namun sekujur tubuhnya gemetar. Tangannya terasa dingin, pucat seperti tak beraliran darah. Hanya tinggal satu harapannya, yaitu juara satu. Hatinya berdebar. Seperti kuda yang dipacu berlari kencang. Dag..dig..dug… Bibirnya tampak komat-kamit berucap doa agar harapannya terwujud demi mutiara hati, ibunda tercinta. Semakin nampak kegusarannya. MC kembali membacakan pemenang lomba cerpen juara satu.

“Untuk juara satu lomba cerpen kategori mahasiswa diraih oleh…” Lina menutup telnganya rapat-rapat.
MC melanjutkan,“…Maria Verlina.” Lina sempat terkejut mendengarnya, namun yang disebut MC bukanlah namanya, bukanlah Verlina Martha.

Tepuk sorai penonton bergemuruh di seantero aula universitas. Mengiring langkah gontainya. Pupus sudah harapannya. Tubuh kecil itu lemas. Sosok sang ibunda muncul seketika. Berucaplah dia dalam hati, “Maaf, Mak. Lina nggak bisa mendapatkan uang itu untuk biaya berobat emak. Maafin Lina, Mak..”

Setelah lima langkah meninggalkan aula, terdengar suara MC kembali berbicara, “Maaf hadirin sekalian mohon perhatiannya sejenak, kami benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Kami ralat untuk juara satu lomba cerpen,” Lina menghentikan langkahnya. Menyimak sangat apa yang dikatakan MC yang terdengar sayup di tengah teriakan penonton.

“Untuk juara satu lomba cerpen kategori mahasiswa diraih oleh Verlina Martha…Kepada pemenang, diharapkan untuk segera naik ke atas panggung,” lanjut MC.

Jantungnya terasa berhenti. Tak percaya apa yang dia dengar tadi. Dia jatuhkan tubuhnya dalam posisi bersujud dyukur. Langkahnya yang gontai kini berlari dahsyat menuju panggung. Matanya tak lagi sendu, binarnya berpijar, menyilaukan. Terlihat sangat bahagia hatinya. Dengan langkah bijak, Lina naik ke atas panggung untuk penyerahan hadiah. Tercapai sudah harapannya.

Bergegas Lina melangkahkan kaki meninggalkan univesitas itu. Penuh semangat dia berlari-lari kecil menuju rumahnya. Riang gembira menjadi angin di tengah teriknya mentari yang tak bersahabat. Tak sabar dia ingin memberi tahu ibunya. Berdendang iringi langkah kecilnya. Senyum manis bersimpul di bibirnya, tak putus.

Mak, Lina berhasil, Mak. Lina akan langsung membawa Emak berobat agar emak bias jalan lagi, membatini. Udara panas terasa dingin baginya. Lelah tak terasa meski harus berjalan menempuh jarak tiga kilometer jauhnya dari universitas itu ke rumahnya.

***

Langkah kakinya sampai di pelataran rumah. Mengernyit dahinya, pertanda heran. Berkumpul banyak orang memenuhi ruang kosong di depan rumah. Penuh tanda tanya : ada apakah gerangan?

Kedatangannya mengundang setiap mata tubuh yang berdiri. Segera dia berjalan dengan langkah lebih cepat membelah kerumunan tetangga sekitar menuju dalam rumah. Langkahnya terhenti di ruang tengah. Tubuh kurusnya diam membeku. Serasa teraliri tegangan listrik seketika. Semakin tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sebuah keranda berdiri menghiasi ruang tengah bersama sang kakak yang terisak menahan tangisnya.

Bruuukk!!

Tubuh kecil itu terjatuh di sudut ruang. Gotong royong para tetangga membopong Lina ke kamar. Mencoba membangunkan Lina yang tak sadarkan diri.

Lima belas menit kemudian Lina tersadar. Seketika itu dia langsung berlari menuju ruang tengah yang padat manusia. Dipeluknya jenazah sang ibunda, mutiara hatinya. Setetes demi setetes air mata yang dia pendam akhirnya keluar. Tak pernah kulihat Lina menitikkan air mata selama aku mengenalnya sejak kecil. Dia sosok gadis yang aku kagumi. Sosok gadis yang tegar. Tak mudah goyah meskipun angina kencang menerjang.

Lina tak bergeser sedikit pun dari sisi sang ibunda. Masih dengan isak tangis yang membahana. Tampak Mbak Isah membisiki telinganya, tapi tak satu kata pun digubris. Tetap diam di samping ibunda yang tertidur lelap meninggalkan keluarga selamanya. Semakin erat pelukan dan isak tangis yang semakin menjadi ketika ayah dan kakaknya mencoba membuat Lina tenang.

***

Upacara pemakaman berlangsung hikmad diikuti Lina, Mbak Isah, dan ayahnya serta tetangga sekitar. Lina terlihat sangat terpukul semenjak kepergian ibunya. Menjadi anak yang pendiam. Tak banyak bicara. Juga susah tuk melihat senyum manisnya. Duduk sendiri di teras depan rumah kala malam menjelang berbekal sebuah pena dan selembar kertas. Ayah dan kakaknya tak punya kekuatan lagi tuk membujuk Lina.

Dia lewati malam dengan menulis, menulis dan menulis. Sunyi sendiri dalam sepi dia nikmati berteman angin malam. Masih lekat dalam ingatanku, satu tulisan yang tercecer di depan rumahnya (mungkin karena kecapekan dia tak sadar selembar kertas terjun dari bindernya):

Di sudut jalan itu
Seorang gadis duduk dibawah
gerimis malam..

Tak tahu pasti yang dinanti
Risau menyelimuti galau hati
Memicu tetes air mata tak terperi
melebur dengan gerujuk hujan
yang mulai menepi..

Wajahnya pucat pasi
Tubuhnya serasa terkuliti
sunyi malam perih
sendiri...



Jember, 8 April 2009
Phow



(Dimuat di media lokal Harian Umum Suara Mandiri, Mataram
)