Jumat, 20 Agustus 2010

Ibuku, Sosok yang Hebat

Aku paling nggak suka kalau ada yang bercerita tentang ayah. Selalu saja menjadi sosok yang dibanggakan. Bagiku bukan ayah yang menjadi sosok hebat, tapi ibu. Mungkin karena sejak lahir bahkan sejak aku masih dalam kandungan, aku tak pernah merasakan kasihnya. Yah, mungkin.

Coba kau tanya ibuku, apa ayah ada waktu ibu melahirkan aku? Jangankan waktu melahirkan, waktu mengandungku di mana dia? Pulang dini hari, berangkat subuh. Selalu begitu kelakuannya. Pernah suatu ketika ibu dilempar vas bunga hingga dijahit alis sebelah kirinya karena terbentur vas yang atos itu. Apa masih bisa dijadikan sosok yang dibanggakan? Sosok yang kuat? Sosok yang jagoan?

Sampai-sampai hal yang sangat wajib tak digubrisnya. Kau tau siapa yang meng-adzani-ku saat aku hadir mencicipi udara dunia nyata ini? Lagi-lagi bukan seorang ayah yang seperti biasa mereka jadikan sosok hebat. Kakakku yang pertama dari 5 saudaraku yang meng-adzani-ku. Lalu, di mana peran ayah saat itu? Padahal jelas-jelas waktu itu ayah berada di ruangan sebelah ruang persalinan ibu.

Apa kau juga ingin tau apa yang dilakukan ayah saat ibu bertaruh nyawa mengeluarkanku dari ruang rahimnya yang sempit? Ah, hal ini membuatku semakin tak suka mendengar kata ‘Ayah’. Dia malah menutup ruangannya rapat-rapat hingga setitik sinar pun tak di izinkannya masuk. Apa aku boleh berkata ‘Muak’ dengan sebutan ayah? Yah, terserah kalian yang membaca dan menafsirkan.

Siapa bilang janin di rahim ibu tak bisa merasakan apa yang terjadi pada ibu? Masih ingat dengan apa yang kuceritakan di atas? Ketika ibu dilempar vas bunga atos yang menyebabkan alis sebelah kirinya dijahit, saat itu pula alisku terluka hingga kini masih menjadi saksi kesadisan ayah yang membekas di alis sebelah kiriku. Lagi-lagi ayah menjadi sosok yang menyeramkan dan menggeramkan bagiku.

Tak hanya itu sikap kasar yang ditunjukkan ayah yang ‘maha santun’, dia bilang ibuku seorang pelacur! Apa itu bisa dibilang santun?

Inilah yang aku suka dari ibu, ketabahannya, keikhlasannya, dan ketegarannya. Tak pernah membalas sikap ayah yang kasar dengan perlakuan kasar. Tak pernah membalas perkataan ayah yang tak santun dengan kata-kata yang tak santun pula. Ini sebabnya aku menjadikan sosok ibu yang kuat bak karang yang tak terkikis ombak.

Ibu, betapa menderitanya saat kau kandung aku. Tapi wajah dukamu tak pernah kau tunjukkan padaku. Ingin sekali aku merasakan lembutnya belaian tanganmu saat kulelap di pangkuanmu.

Aku tahu kau sedih, Bu, aku terlahir menjadi seorang pelacur.
Maafkan aku, Ibu…



Jember, 10 Mei 2009,
Phow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar