Jumat, 20 Agustus 2010

Menatap Senja

Masih ingat terakhir kali kita bertemu di suatu sore, ketika mata air airmataku mulai memuntahkan partikel-partikelnya dan membanjiri senja hening itu? Kau selalu meminta maaf ketika butiran air mulai jatuh dari sudut mataku.

“Maaf kalau aku selalu membuatmu menangis,” katamu saat memelukku. Erat. Hingga aku bisa merasakan detak jantungmu bertabuh.



Aku dan kau tak saling berkata lagi. Aku sibuk dengan pikiranku yang bergemuruh. Lantas, petir menyambar dan memorak-porandakan seisinya. Awan hitam kian menggelayut di mega mendung. Sedangkan kau, mungkin juga sedang sibuk dengan perasaan galau, ketika sesekali kupandang wajahmu di balik lengan yang merengkuhku. Mungkin juga kau sedang mencoba menjawab berondongan pertanyaan : ”Mengapa setiap kali kau bertemu denganku selalu menitikkan air yang meleleh dari sudut matamu? Apa aku sering membuatmu sakit hati? Apa aku gagal membuatmu bahagia? Bagaimana hal ini bisa terjadi, sementara selama ini kau tak pernah berkomentar tentang caraku menyayangimu? Malah, pernah kau bilang lewat pesan singkat bahwa kau sangat berterima kasih padaku untuk semua yang pernah aku lakukan…”

Sunyi.

Dan kita, sama-sama hanya memilih untuk menatap senja.

Hening.

“Maaf, Sayang. Aku masih belum bisa membahagiakanmu. Akan kuterima segala yang menjadi keputusanmu jika aku hanya menjadi beban dan selalu membuatmu menangis.” Ini kali kedua kau berbicara dan meminta maaf pada pertemuan itu. Kali ini kau lepas pelukanmu dan mengangkat daguku dengan ibu jari dan telunjuk yang bertaut.

Aku tak kuasa balas menatap matamu ketika kau coba menatap mataku. Kali ini aku yang balas memelukmu. Bahkan jauh lebih erat.

Lagi-lagi kita memilih bungkam.

Tak lama di keheningan itu, kutata pikiranku. Mencoba membaur bersama ketenangan. Dan mulai kubuka bibirku.

“Bukan, Sayang. Bukannya kau gagal membahagiakanku, tapi lebih dari mampu membangkitkanku dari terpaan badai. Dengan tulus kau lakukan apa pun untuk memunguti sisa-sisa jiwaku yang terhempas. Dengan hati-hati dan seksama kau rangkai serpihan itu hingga utuh kembali. Kau bahkan mampu membuatku tenang ketika ombak mengombang-ambingkan jiwaku. Karena itulah air mataku selalu meleleh saat berada di sampingmu. Karena kau selalu bisa menenangkanku ketika pikiranku kacau dan kau menjadi sandaran yang nyaman untuk meluapkan segala risau selama kita tak bertemu. Aku tak menuntutmu selalu ada di sampingku, karena aku tahu kau juga butuh proses menuai intisari kehidupan untuk memasuki ruang dewasa.”

Kau semakin erat memelukku. Dengan lembut mengecup keningku.

Senja itu mulai merayapi gelap. Diam-diam bulan merambat dan mengintip kita di balik awan…



Jember, 21 Okt 2009
Phow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar