Jumat, 20 Agustus 2010

Ibuku, Sosok yang Hebat - III

Ibu kadang kala merindukan senjanya yang memerah meskipun sosok yang diinginkannya nyata hadir sejak tiga tahun lalu, tepatnya aku masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar Negeri Jember Kidul 03. Sepoinya membuat jiwa seakan dimanjakan oleh alam. Heningnya menentramkan setiap relung yang kesepian.

Benar saja, yang aku takutkan selama ini, sekarang terjadi. Bukan hanya ibu, aku juga sangat menginginkan senjaku, senja ibu yang mampu menghibur hati kami. Hidup dengan sosok seorang ayah ternyata tak selama mampu menyempurnakan hidup berkeluarga, bagiku. Ternyata pula hidup belasan tahun tanpa seorang ayah dapat membuatku semakin mengerti apa yang disebut hidup dan tanpanya aku lebih bisa menikmati wajah ayu ibu yang penuh kerutan siksa batin.

“Bu, kenapa Ibu masih mau sama Ayah?” pertanyaan itu tiba-tiba muncul mengingat kejadian sepulang sekolah kemarin secara tak sengaja aku melihat ayah sedang membuang nasi dan piring yang ibu dapatkan susah payah hanya karena hidangan yang mampu ibu sajikan berupa nasi, tahu, tempe, dan sambal terasi. Ayah tak hentinya memaki ibu. Mendorong ibu hingga kepalanya terbentur gagang besi sebuah lemari piring. Darahnya mengucur dan ibu hanya tersenyum ketika kudapati sebuah tangannya menyanggah kepalanya. Aku terdiam di sudut ruangan itu dengan gemetar dan semakin bergetar ketika ayah mengetahuiku ada di pojok situ. Aku menjerit dan menangis saat ayah tiba-tiba menghampiriku dan mendorongku hingga terjerembab, “Dasar anak haram!!” Aku semakin tersudut
Penuh ketegaran, ibu memunguti keping-keping sisa hati ayah yang berserakan. Lagi-lagi tak setitik air meleleh dari pelupuk matanya.

Ibu selalu menjawab dengan senyumnya yang khas. Oh, ibu sungguh mulia hatimu. Tak kau pedulikan sebilah pisau menyayat hatimu demi kasihmu yang tulus. Pedih sudah menjadi bumbu yang menyedapkan hidupmu. Bu, semoga suatu saat nanti aku bisa memeluk hatimu dan membersihkan luka-luka itu, batinku.

Senja kian marak menampilkan wajahnya yang sepi. Memanggil bulan yang meremang sendu, menatap punggung ibu yang berlalu. Adzan maghrib sayup-sayup menghibur hati kami.





Jember, 27 Mei 2009
Phow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar