Jumat, 20 Agustus 2010

Hadiah Untuk Emak

Dia sosok gadis yang sangat kuat dimataku. Gadis yang berotot besi, bermental baja. Dia tinggal berempat bersama kakak perempuan, ibu, dan bapaknya. Kakaknya tidak bekerja, sedangkan ayahnya hanya diam, duduk meratapi nasib, shock sejak tertipu orang hingga tak punya apa-apa. Ibunya seorang ibu rumah tangga. Tidak bekerja, hanya menunggu gaji pensiunan suaminya yang berjumlah Rp. 500000,- per bulan untuk mencukupi dua orang dari enam anak. Keterbatasan itulah yang membuat ibunya sering meminjam uang sebagai tambahan makan sehari-hari. Menjual baju-baju beliau hingga hanya tersisa dua pasang. Pinjam dari tetangga hingga rentenir harian yang biasa ibu rumah tangga sebut sebagai ‘Abang’. Kau tahu, bunga per bulan pinjaman yang diperoleh dari Abang itu sebesar 10%! Kesana kemari, gali lubang tutup lubang dengan sisa tenaga dan wajah yang sangat teduh oleh goresan duri. Betapa tak pernah sempat beliau memandang pelangi, menikmati semilir angin, duduk di bawah pohon sambil mendengar lantunan gamelan, musik yang sangat disukainya. Atau duduk di gubuk beratap jerami yang mengalir sebuah sungai di sisinya, berawan sendu sekaligus menenun damai hilangkan gundah walau sekejap dengan musik kejawen hanyutkan kalbu dalam haru biru yang menggenang di pelupuk batin.

Seharian dia habiskan waktunya untuk bekerja membanting tulang mencari biaya pengobatan ibunya yang saat ini terbaring lemah di atas dipan kasur beralas segulung tikar dan selembar selimut ‘tuk membungkus tubuh ringkihnya agar hangat. Pagi hari dia gunakan untuk bekerja sebagai loper koran di persimpangan jalan raya. Tak peduli terik matahari membakar kulitnya dan angin menyapu wajahnya beserta debu, tak bersahabat. Asap-asap kendaraan tak membuatnya terusik. Tegak diantara gedung-gedung yang berdiri tegas dan menjulang di kaki langit.

Seperti biasa, pukul 07.30, sepulang ngloper koran, dia membeli makanan dan kembali ke rumah, merawat ibunya. Tak pernah kulihat dia mengeluh menjadi tumpuan keluarga meski usianya masih menginjak delapan belas tahun. Tak pula kudengar rintih penyesalan dari bibirnya. Juga tak pernah ada setetes air mata jatuh melukis wajahnya bersembur luka. Matanya berbinar, memancarkan cahaya bening menembus celah tulus yang bersembunyi di balik jantung hati.

Jam 08.30 ia kembali beraktivitas di kampus. Berbekal niat, dia pun akhirnya berangkat dengan berjalan kaki dari rumahnya menuju kampus yang berjarak kurang lebih empat kilometer. Uang yang dia peroleh dari bekerja, disimpan untuk biaya perawatan ibunya yang tak bisa berjalan hingga kini. Lagi-lagi uang. Uang bukan segala-galanya, tetapi segalanya butuh uang. Satu lagi yang kukagumi dari sosok sahabatku itu, dia tak pernah menyerah untuk melanjutkan pendidikannya dengan kondisi perekonomian keluarganya. Dia juga bekerja di salah satu Warung Internet ( Warnet ) di daerah sekitar kampus sepulang kuliah hingga pukul 22.00. Lelah tak jadi penghalang semangatnya. Api meletup-letup membakar kantuk dan malas. Demi masa depan dengan segenggam keinginan tuk raih harapan tebesar orang tua, khususnya ibu. Selain tuk biaya perawatan ibu, dia tabung sebagian upah kerjanya tuk biaya kuliah. Lagi-lagi berurusan dengan birokrat! Benar-benar birokrat ‘Sang Penjagal’! Tak peduli peluh nanah dan air mata darah membuncah membanjiri sepotong tubuh yang terbentuk dari puing-puing hati penguasa yang retak. Merobek angin di sudut cakrawala, usik cericit camar di wajah muram siluet. Betapa tak, masuk kuliah masih harus dibelit-belitkan dengan politik yang mereka buat sendiri. Setelah menjadi mahasiswa, masih dibelitkan dengan tetek bengek birokrasi yang memungut sumbangan liar. Sungguh, sebutir debu beranak pinak, menggumpal, erat menutup pintu hati mereka.
Tetap sama, tak pernah hal itu membuatnya rapuh dan tumbang. Jerih payah dilakukannya tuk raih asa yang merentang di hadapnya.

Sepulang bekerja, seperti biasa, dia belikan sebungkus nasi goreng untuk ibunya. Setelah merawat beliau, barulah dia pergi beristirahat. Mengiring bulan dalam mimpi sang bintang. Begitu aktivitas sehari-harinya. Tak dia pedulikan mata sembab merias parasnya yang elok.

Beberapa hari terakhir ini dia terlihat lelah, seperti layaknya orang kurang tidur. Ada lingkar hitam di sekitar matanya yang indah bak bola pimpong. Perlahan, diam-diam menyelinap dan bersangkar di balik kelopak mata, rasa kantuk menahan binar matanya yang hendak menerjang menembus selambu hitam, bebaskan cahaya. Layu seperti tanaman tak tercium tetes embun. Lunglai tak bertulang.
Sekali lagi, tak pernah hal itu membunuh semangatnya. Darah tekadnya mengalir di sela-sela nadi asa, kantuk pun tak kuasa melawan, luruh tak berdaya.

Kali ini, sepulang kerja, usai merawat ibunya, dia tak langsung pergi tidur. Diambilnya pena dan sebuah buku. Sambil merobohkan tubuh di atas kasur, dia peluk erat guling kesayangannya yang seperti lama sekali tak jumpa. Mulailah aksi ballerina sang pena. Indahnya sebuah tongkat pena menari-nari di atas salju putih, memadat. Goresan pena saling menyatu dari titik satu dengan titik yang lain. Melebur dalam sebuah aksara, membentuk kepulauan kata yang bernama kalimat. Disajikan dalam sebungkus cerita pendek penuh sajak indah nan nikmat. Tumbuh pula sepucuk puisi menyembur di atas siratan metafora.

Begitulah aktivitasnya selama beberapa hari terakhir ini. Pagi ngloper koran, terus kuliah dan siang hari bekerja di sebuah warnet. Pulang malam kemudian merawat ibunya yang makin lemah kondisinya. Setelah itu dia masih membuat cerpen untuk dilombakan yang dua hari lagi harus sudah dikirim.
Lagi-lagi rasa kagumku melayang mencari dahan dan hinggap di ranting niat tulusnya. Mulia sangat keinginan gadis itu. Sayap putihnya mengepak di angkasa, seperti siap meraih gilang gemintang yang sejak dulu menjadi impiannya.

***

Kicau burung di atas cemara menyambut pagi nan cerah. Embun datang membelai rerumputan. Semilir angin menyapa raja siang yang mulai menampakkan diri dari malam peraduannya. Pagi itu, hari yang dia tunggu. Hari dimana banyak orang berkumpul di depan salah satu universitas negeri di tempat dia tinggal, menunggu panitia membacakan pengumuman pemenang lomba cerpen yang dimeriahkan pula dengan pementasan teater oleh pihak penyelenggara.

Pamitlah dia kepada sang ibunda.
“Mak, Lina berangkat dulu ya. Ada Mbak Isah yang menemani Emak. Lina pergi sebentar kok, kalau ada apa-apa, tinggal bilang aja sama Mbak Isah. Doain yah, Mak. Nanti kalau menang kan lumayan bisa buat biaya berobat Emak, biar Emak cepat sembuh dan bisa jalan lagi.”

“Maafkan Emak ya, nduk. Emak nggak bisa kasih kamu apa-apa. Nggak bisa biayain kamu kuliah. Kamu musti kerja cari, dari pagi sampai malam. Maaf ya nduk, emak hanya bisa ngasih do’a untuk kamu. Emak macam apa ini yang hanya bisa berbaring melihat anak kerja banting tulang untuk biaya Emak.”

“Sudahlah, Mak. Emak nggak usah kuatir. Lina ini kan sudah gede, jadi bisa jaga diri baik-baik. Lagian Lina masih muda, jadi masih kuat kerja apa pun. Memang sudah waktunya Emak menikmati masa tua Emak, Nggak perlu kerja lagi. Toh Lina ada kan untuk Emak. Emak jangan sedih lagi ya, Mak,” Lina mengusap air mata ibunya, “Sudah, Mak, nanti keburu telat Lina. Doain yah, Mak.”

“Iya, Emak selalu mendoakan kamu, nduk. Kelak kamu akan menjadi orang yang sangat sukses. Emak yakin dan kamu juga harus yakin nduk. Jaga diri baik-baik ya. Harus tetap tegar dalam menghadapi masalah. Hidup itu tantangan, jangan diratapi, tapi harus disiasati dan dihadapi. Jangan lupa sholat, memohon pada Yang Kuasa,” dibelainya rambut Lina sembari melepas senyum kecil di wajahnya.

“Iya, Mak. Nanti kalau lina sudah sukses, Lina mau naikkan Emak haji. Ya sudah, Mak, Lina berangkat dulu yah. Kalau ada apa-apa bilang aja sama Mbak Isah,” Lina mencium tangan ibunya.
Dengan hati yang mantap, dia berangkat dengan megenakan pakaian terbaiknya, hem warna hitam dengan jeans hitam. Rambut hitamnya dia ikat kuda. Berjalan dengan langkah pasti mengenakan sepatu kets hitam yang telah dipersiapkannya semalam.

***

Pementasan teater meramaikan suasana hari itu. Semua penonton dibuatnya terkesima dengan performance art mereka. Tak luput juga si Lina. Pementasan itu berlangsung kurang lebih tiga puluh menit. Sepuluh menit kemudian pembacaan pemenang lomba cerpen.

Lina terlihat pucat. Ada rasa cemas di senyum simpulnya. Keringat dingin terus membanjiri tubuh kuning langsatnya. Panas terik mentari tak bersahabat kala itu. Degub jantungnya serasa terdengar bak dentuman drum yang melantun cepat. Lina berusaha menenangkan diri.

Pengumuman pun dimulai. Juara harapan dua hingga juara dua telah dibacakan oleh Master of Ceremony ( MC ). Tak satu pun tersebut namanya di sana. Lina tampak semakin gelisah. Tak hanya degub jantungnya yang terdengar, namun sekujur tubuhnya gemetar. Tangannya terasa dingin, pucat seperti tak beraliran darah. Hanya tinggal satu harapannya, yaitu juara satu. Hatinya berdebar. Seperti kuda yang dipacu berlari kencang. Dag..dig..dug… Bibirnya tampak komat-kamit berucap doa agar harapannya terwujud demi mutiara hati, ibunda tercinta. Semakin nampak kegusarannya. MC kembali membacakan pemenang lomba cerpen juara satu.

“Untuk juara satu lomba cerpen kategori mahasiswa diraih oleh…” Lina menutup telnganya rapat-rapat.
MC melanjutkan,“…Maria Verlina.” Lina sempat terkejut mendengarnya, namun yang disebut MC bukanlah namanya, bukanlah Verlina Martha.

Tepuk sorai penonton bergemuruh di seantero aula universitas. Mengiring langkah gontainya. Pupus sudah harapannya. Tubuh kecil itu lemas. Sosok sang ibunda muncul seketika. Berucaplah dia dalam hati, “Maaf, Mak. Lina nggak bisa mendapatkan uang itu untuk biaya berobat emak. Maafin Lina, Mak..”

Setelah lima langkah meninggalkan aula, terdengar suara MC kembali berbicara, “Maaf hadirin sekalian mohon perhatiannya sejenak, kami benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Kami ralat untuk juara satu lomba cerpen,” Lina menghentikan langkahnya. Menyimak sangat apa yang dikatakan MC yang terdengar sayup di tengah teriakan penonton.

“Untuk juara satu lomba cerpen kategori mahasiswa diraih oleh Verlina Martha…Kepada pemenang, diharapkan untuk segera naik ke atas panggung,” lanjut MC.

Jantungnya terasa berhenti. Tak percaya apa yang dia dengar tadi. Dia jatuhkan tubuhnya dalam posisi bersujud dyukur. Langkahnya yang gontai kini berlari dahsyat menuju panggung. Matanya tak lagi sendu, binarnya berpijar, menyilaukan. Terlihat sangat bahagia hatinya. Dengan langkah bijak, Lina naik ke atas panggung untuk penyerahan hadiah. Tercapai sudah harapannya.

Bergegas Lina melangkahkan kaki meninggalkan univesitas itu. Penuh semangat dia berlari-lari kecil menuju rumahnya. Riang gembira menjadi angin di tengah teriknya mentari yang tak bersahabat. Tak sabar dia ingin memberi tahu ibunya. Berdendang iringi langkah kecilnya. Senyum manis bersimpul di bibirnya, tak putus.

Mak, Lina berhasil, Mak. Lina akan langsung membawa Emak berobat agar emak bias jalan lagi, membatini. Udara panas terasa dingin baginya. Lelah tak terasa meski harus berjalan menempuh jarak tiga kilometer jauhnya dari universitas itu ke rumahnya.

***

Langkah kakinya sampai di pelataran rumah. Mengernyit dahinya, pertanda heran. Berkumpul banyak orang memenuhi ruang kosong di depan rumah. Penuh tanda tanya : ada apakah gerangan?

Kedatangannya mengundang setiap mata tubuh yang berdiri. Segera dia berjalan dengan langkah lebih cepat membelah kerumunan tetangga sekitar menuju dalam rumah. Langkahnya terhenti di ruang tengah. Tubuh kurusnya diam membeku. Serasa teraliri tegangan listrik seketika. Semakin tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sebuah keranda berdiri menghiasi ruang tengah bersama sang kakak yang terisak menahan tangisnya.

Bruuukk!!

Tubuh kecil itu terjatuh di sudut ruang. Gotong royong para tetangga membopong Lina ke kamar. Mencoba membangunkan Lina yang tak sadarkan diri.

Lima belas menit kemudian Lina tersadar. Seketika itu dia langsung berlari menuju ruang tengah yang padat manusia. Dipeluknya jenazah sang ibunda, mutiara hatinya. Setetes demi setetes air mata yang dia pendam akhirnya keluar. Tak pernah kulihat Lina menitikkan air mata selama aku mengenalnya sejak kecil. Dia sosok gadis yang aku kagumi. Sosok gadis yang tegar. Tak mudah goyah meskipun angina kencang menerjang.

Lina tak bergeser sedikit pun dari sisi sang ibunda. Masih dengan isak tangis yang membahana. Tampak Mbak Isah membisiki telinganya, tapi tak satu kata pun digubris. Tetap diam di samping ibunda yang tertidur lelap meninggalkan keluarga selamanya. Semakin erat pelukan dan isak tangis yang semakin menjadi ketika ayah dan kakaknya mencoba membuat Lina tenang.

***

Upacara pemakaman berlangsung hikmad diikuti Lina, Mbak Isah, dan ayahnya serta tetangga sekitar. Lina terlihat sangat terpukul semenjak kepergian ibunya. Menjadi anak yang pendiam. Tak banyak bicara. Juga susah tuk melihat senyum manisnya. Duduk sendiri di teras depan rumah kala malam menjelang berbekal sebuah pena dan selembar kertas. Ayah dan kakaknya tak punya kekuatan lagi tuk membujuk Lina.

Dia lewati malam dengan menulis, menulis dan menulis. Sunyi sendiri dalam sepi dia nikmati berteman angin malam. Masih lekat dalam ingatanku, satu tulisan yang tercecer di depan rumahnya (mungkin karena kecapekan dia tak sadar selembar kertas terjun dari bindernya):

Di sudut jalan itu
Seorang gadis duduk dibawah
gerimis malam..

Tak tahu pasti yang dinanti
Risau menyelimuti galau hati
Memicu tetes air mata tak terperi
melebur dengan gerujuk hujan
yang mulai menepi..

Wajahnya pucat pasi
Tubuhnya serasa terkuliti
sunyi malam perih
sendiri...



Jember, 8 April 2009
Phow



(Dimuat di media lokal Harian Umum Suara Mandiri, Mataram
)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar