Jumat, 20 Agustus 2010

Ibuku, Sosok yang Hebat – IV

Aku selalu ditakutkan dengan perlakuan ayah yang semakin hari semakin tak bisa kumasukkan ke ruang rasionalitas. Kejadian yang mendorong ibu hingga berdarah, masih menjadi remang-remang langkahku. Aku menjadi semakin takut jika melihat sosok ayah karena tak seperti yang kubayangkan waktu aku masih TK. Sosok ayah yang bisa membuat ibu bahagia. Sosok ayah yang menghiburku dengan membelikan sebuah es krim sebagai hadiah. Sosok ayah yang mampu mengayomi keluarga. Eh, ternyata sangat berbanding terbalik sejak aku memiliki sosoknya hingga aku beranjak menjadi ABG yang menginjak kelas dua di SMP favorit di kotaku.

Beberapa hari lalu, lagi-lagi ayah menganiaya ibu. Menjambak rambutnya kemudian diseret dari ruang tengah sampai ke teras depan rumah karena hal serupa, tak mampu menghidangkan daging permintaan ayah karena memang penghasilan ibu dari berjualan rujak tak lebih dari Rp. 15000,- per hari. Nasi berserakan. Aku melihat raut wajah ibu yang merah menahan sakit. Sudut bibir kirinya berdarah. Aku tak tahan melihat ibu dianiaya dan dihina. Ibu dituduh selingkuh ketika ayah tak ada di rumah. Dituduh menjadi seorang pelacur. Sungguh tak bisa kumaafkan jika aku hanya berdiam diri melihat ibu kesakitan.

Kuberanikan menampik tangan ayah dengan segala jurus yang pernah aku pelajari dulu waktu masih aktif di Karate-Do. Sudah kuduga jika ayah akan berbalik menyerangku. Kusuruh ibu cepat pergi. Tubuhku yang kecil kurus terpanting saat ayah memukul punggungku dan aku jatuh terseret hingga di depan pintu. Tak ada jalan lain selain aku harus meninggalkan rumah. Kubuka pintu dan bergegas lari menyusul ibu. Dengan napas yang berkejaran aku berusaha lolos dari cengkeraman ayah dan benar saja, ayah yang usianya mulai tua, tak sanggup mengejarku. Aku lari tunggang langgang. Tuhan, durhakakah aku? Maafkan aku..

Tak tahu ke arah mana aku lari. Gang-gang sempit aku lewati. Aku berhenti di sebuah gubuk yang ada di lapangan rumput yang tak terawat di sebuah kampung yang tak aku tahu di mana saat ini aku berada. Kulihat seseorang berlari menuju arahku. Aku bersiap melarikan diri lagi. “Tunggu!” orang tua itu tersengal-sengal mengeluarkan nafasnya yang pendek. Kuhentikan langkahku.

“Ibumu, sekarang ada di rumahku, tak jauh dari sini. Tadi beliau melihatmu berlari melewati depan rumah dan dia bilang kalau kau putrinya.” Sepertinya bapak ini mengerti jika aku ragu padanya, “Tenanglah, aku bukan orang suruhan ayahmu. Mari ikut Bapak.” Senyum bapak itu membuatku lebih tenang.

***
Oh, rupanya ibu sudah terlelap. Kasihan ibu, selalu menjadi korban ayah yang tak berhati. Kuseka wajahnya yang penuh luka dengan sapu tangan dan air hangat. Parasnya tetap memanarkan keteduhan. Tak sadar air mataku mulai menggunung, meleleh membasahi pipi ibu. Kudekap ibu erat-erat agar tak ada siapa pun yang berani mengganggunya lagi.


Jember, 27 Mei 2009
Phow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar