Jumat, 20 Agustus 2010

Senja yang Akan Kau Kirim

Ketika dua bola mata saling menatap, seberkas cahaya muncul menerobos pupil yang kian mengecil, menghunus lorong bathin di hela tatapan nanar penuh harap.

Apa kau masih tak tau arti tatapanku? Mengharap balasan cinta darimu yang meskipun aku tahu dan yakin, tak akan kau berikan untukku, kekasih sahabatmu. Tapi bukankah itu mungkin? Mungkin saja kita bisa bersama, bukan? Bukan tidak mungkin, Kawan.

Tapi aku bukan siapa-siapa yang bisa mengatur hidupmu bahkan mengatur cintamu untuk siapa. Tapi jika boleh, aku ingin mengatur cintamu hanya untuk aku. Hanya untuk aku, kawan. Sudah lama aku memendam rasa ini. Sekitar enam bulan, sejak pacarku pergi ke luar kota untuk menghadiri suatu acara. Sejak itu aku selalu bercerita tentang apa yang aku hadapi dengan tujuan meringankan sedikit bebanku. Mungkin kau mengira begitu. Tapi bukan itu maksudku. Aku ingin lebih dekat mengenalmu. Lebih dekat dengan menilai bagaimana kamu dengan saran-saranmu. Dan aku sangat kagum ketika menyimak saran-saranmu yang bijak, tentunya menurutku, karena itu sangat subjektif sekali.

Apa kau masih tak mengerti juga ketika aku selalu bercerita tentang masalahku lewat sms yang kutujukan ke nomor ponselmu? Aku tak tahu apa ini rasa sayang, cinta, suka, atau hanya sekedar kagum padamu yang menurutku sangat bijaksana dan berintelektual. Selama enam bulan, selama enam bulan rasa itu bersarang di hatiku. Apa itu masih hanya sekedar rasa kagum? Kau dan kasihku orang yang sama-sama bijak, berintelektual, dan sangat mantap memahami atau mendedah permasalahan. Setelah tiga tahun aku mengisi hidupku dengan kasihku, kehadiranmu tiba-tiba mengubah suasana hatiku. Aku lebih memilih kamu. Bukan tak mungkin kan, jika aku menyukai orang lain setelah menjalin hubungan selama tiga tahun?

Atau, aku ini sudah tak waras? Sampai detik ini pun aku masih menanti untaian kata dari bibirmu meskipun kau tak menyukaiku. Asal kau bicara saja aku sudah lega.

Kau memang orang peka dan sahabat yang baik. Akhir-akhir ini sikapku pun berubah terhadapmu, kau mengetahuinya, kau sangat peka. Dan kau tak sungkan menanyakan apa yang terjadi denganku kepada kasihku karena sikapku agak aneh ketika bertemu denganmu. Dan kasihku pun bertanya padaku tentang hal itu.

Aku kirimkan sebuah lukisan fajar. Kau tahu maknanya? Aku suka sekali pada fajar. Kedatangannya selalu kunanti. Tahu kenapa? Karena aku ingin cepat-cepat bertemu kau. Karena aku ingin menjemput pagimu di fajarku. Karena aku sangat bersemangat ketika bertemu denganmu. Karena kini kau menjadi semangatku kala fajarku terbit dan akan selalu tetap menjadi fajar ketika bertemu denganmu. Karena kamu angin penyejuk saat fajarku tiba. Karena kau pewarna fajarku yang hitam keabu-abuan menjadi biru, merah, orange. Karena kau kini menjadi penerang fajarku dengan senyummu yang membiaskan cahaya sunrise.

Dan aku pun sebenarnya tahu apa yang akan kau kirim sebagai balasan. Aku memang dungu, goblok, dan tak tahu diri. Mencintai orang yang jelas-jelas sudah kutahu tak mencintaiku sama sekali. Tapi apa ada yang salah dengan perasaanku, Kawan?

Mungkin, kau akan membalas dengan mengirimkan senjamu. Senja yang sangat kau nantikan kehadirannya, berbeda denganku. Karena kau tak sedemikiannya, seperti aku mengirimkan fajar untukmu. Karena kau sangat menjaga jarak dan menjaga perasaan sahabatmu. Bukan begitu, Kawan?

Mungkin surat ini akan kuakhiri sengan menutup fajarku dan menggantikan dengan senja dimana sang mentari yang melintas cakrawala membenamkan diri, menjemput gelap.

***

Angin mulai mendesir, menyeret awan merambat di wajah bulan yang pucat pasi. Dan angin pun mulai berderit, menutup hari yang retak oleh waktu.



Jember, 27 Juni 2009
Phow,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar