Jumat, 20 Agustus 2010

Dilema Kesempurnaan


Aku suka sekali menunggu senja. Siluetnya menghibur langit jiwaku yang mulai jemu meniti kisah sehari. Camar melayang berhambur melukis batas cakrawala. Aku, tetap berdiri. Angin datang mengantar bayangmu, menghembus aroma tubuhmu. Wangimu merasuk ke celah pori-pori, merambat ke ujung saraf penciuman. Kemudian menjalar ke ruang kepalaku. Dan meracuni otakku dengan sejuta kisah tentangmu.
Entah mengapa tubuhku tak bisa digerakkan. Selangkah pun tak bisa. Apa wajah tampanmu dengan bola mata cokelat yang membuatku seperti ini? Tertegun. Kita sama-sama berdiri di tepi pantai ini. Tak banyak bicara. Hanya dua pasang mata yang saling beradu pandang.
“Kau sayang padaku?”
“Kenapa kau tanya begitu, Sayang? Apa aku kelihatan tak menyayangimu?”
“Habis, sedari tadi kau hanya diam menatapku. Tak berkata satu pun! Aku kangen…”
Rasa rindu yang kutahan selama tiga tahun, membuncah. Lekas kuremas tubuh kekar di hadapanku hingga detak jantungnya bisa kudengar dari dada bidangnya. Begitu juga kau. Kau balas meremas tubuh mungilku. Dua tubuh berpaut di kaki ombak yang diam-diam mengikis pasir.
Aku rindu. Hanya kata itu yang mengalir deras dalam darahku, kini. Semoga juga kata itu yang mengarung dalam lautan hatimu. Aku dan kau tak berkata-kata lagi. Asyik mengulum rindu yang sejak tadi menari-nari dalam benak. Senja yang kian marak memerah, turut bersuka cita. Bisa kurasakan dengan anginnya yang datang menyapu sore itu dengan sangat lembut. Dan camar-camar, menyenandungkan romantisme. Sesekali berkejaran dengan kaki ombak yang nakal mengintai langkah kita.
“Kau tak pernah berubah, Sayang. Wajahmu, tubuhmu, rambutmu, sama seperti dulu. Parasmu sangat ayu tanpa polesan bedak yang tebal seperti gadis-gadis di sana. Apa hatimu juga masih tetap seperti dulu? Seperti janji yang kita ucapkan sejak kecil bahwa tak kan ada orang lain selain aku di hatimu?” lalu kau angkat daguku dengan ibu jari yang berpagut dengan telunjuk.
Kutatap mata cokelatnya. Tak berkata-kata.
Senyum manismu menyapu pelataran anganku hingga bersih dari bayang lain yang berguguran. Hanya tertinggal wajah tampan tirusmu yang bersemai, tumbuh di halaman rinduku yang subur. Tawa ceriamu berlari-lari. Mengejar mentari ‘tuk kau persembahkan sebagai penghangat pagiku. Yah, kau datang menyambut hariku bersama gelak tawa Sang Surya. Lalu kau sodorkan waktu yang merentang, serasa ingin mendekap erat ruang hidupku. Kemudian kau julurkan tanganmu yang tiba-tiba berubah menjadi sepasang sayap. Tak ragu kau kepakkan sayapmu, membawaku terbang melintas khayalan manis bersamamu.
Jiwaku terbawa udara hangat yang sejuk. Angin semakin kencang, membuat kedua tanganmu menyibak lembut rambutku di balik telinga. Wajahmu semakin mendekat, hanya berjarak dua senti dari hadapanku. Panah matamu menembus degub jantungku yang tiba-tiba berhenti karena anak panahmu menancap tepat di sasaran hatiku. Kau semakin mendekatkan wajahmu yang elok. Semakin dekat hingga bagian wajah yang sangat sensitif saling menyentuh. Bibirmu yang tipis kembali mencium alam bawah sadarku.
Lekas aku menghindar dari tatapanmu.
Begitu sempurna. Kau tuang berliter-liter kisah manis. Kau beri aku bergelas-gelas kenangan yang kau teguk. Kau ukir dinding hidupku hingga sesak dengan romantika. Ah, langkahku yang sejak tadi mengelilingi ingatan tentangmu terhenti ketika sebuah kerikil berada tepat di depan jari kaki, membuatku tersandung.
Aku terperanjat, spontan aku berlari dan terbang lagi ke alam yang penuh dilema. Kali ini aku pergi sendiri. Pergi menyusuri aroma yang tanpa kusadari ternyata sedari tadi berusaha masuk ke dalam saraf penciumanku, mendesak aroma tubuhmu tuk segera pergi, mengundang rasa ingin tahuku akan pemilik tubuh itu bersumber. Aku berlari. Terus berlari.
Jiwaku berkejaran dengan gundah yang deras mengguyur perasaanku. Maaf Sayang. Bibirku terlalu berat untuk mengucapkan kata itu padamu. Aku sendiri tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Apa yang ingin kucari. Kau sangat sempurna. Tak pernah menggores duri sedikit pun yang membuatku terluka dan sakit. Sekali lagi maaf beribu maaf.
Bermil-mil jalan kita lalui bersama. Bertahun-tahun kita jalani bersama. Hingga waktu yang memisahkan kita. Kau pergi ke luar negeri untuk mencapai studimu. Dan sudah setahun kau kembali ke daerah asalmu. Kau masih tetap seperti yang dulu. Lembut hatimu seperti kapas. Jalan yang kita lalui sangat mulus, sayang. Air yang kita seduh sangat tenang, bahkan pelan sangat mengalirnya. Coba saja jika ada sebuah kerikil yang dihantamnya, pasti air itu akan memuncrat sebagai reaksi dua partikel yang saling bertabrakan. Dan akhirnya dengan dorongan temannya, air itu akan kembali mengalir menuju muara melewati sisi kerikil. Dan coba bayangkan, ketika kita makan sayur tanpa garam, pasti akan hambar sekali. Mungkin aku terlalu sok tahu berbicara tentang hidup, tapi memang inilah yang mampu aku tangkap dan rasakan.
Jalanan yang kulewati semakin keras berbatu, bukan lagi pasir putih yang halus. Kumasuki gerbang hutan yang rimbun. Gelap. Namun aroma itu tak jua memudar. Semakin kumasuki rerimbunan itu dengan langkah hati-hati. Mengendap, toleh kanan, kiri, dan belakang takut-takut kalau ada yang menjeratku tiba-tiba. Sesekali aku melihat ke atas, berharap ada seberkas cahaya yang menuntun langkahku untuk menemukan pemilik tubuh itu. Aku semakin berhati-hati mengingat udara kian lembab membaluti sekujur tubuhku.
Kraaaakkk!!!
Aku dikejutkan dengan suara ranting patah yang kuinjak. Sekelebat bayangan tiba-tiba mendekap lamunanku. Tubuhku gemetar bak garpu tala yang saling berbentur hingga menimbulkan bunyi degub jantungku. Seketika udara menjadi dingin, kabut pucat, dan waktu tercekat dalam pencarianku yang tersekat. Sementara aroma tubuh itu semakin menusuk hidungku.
Seekor burung datang dengan selembar kertas yang tepat jatuh di kakiku, tiba-tiba. Cepat kuraih dan bergegas membacanya,
“Apa yang kau cari?
Tak cukupkah dia yang mengarung dalam luas hatimu?”
Batinmu,
Engsel tulangku seperti terlepas. Sum-sumnya keropos tergerogoti rasa yang kian mengikis. Gundahku tak mau menepi. Terus mengarung di lautan hatiku. Sesekali buihnya menghantam karang gelisah. Aku pun tersungkur di kaki absurditas yang mengakar.
***
Ada apa, Sayang?”
“Tak apa,” jawabku dengan tatapan nanar.
“Apa ada yang kau pikirkan? Kali ini aku tak ‘kan ke mana lagi.”
“Apa kau akan mencari pekerjaan di sini?”
“Yah, seperti yang aku janjikan untukmu.”
Bagai patung, aku tak berkutik dalam dekapanmu. Bisa kurasakan kebahagiaan memancar dari mata cokelat yang membuatku terpesona. Kau angkat tubuhku, lalu kita berputar di tengah pasir yang halus. Tak ada orang lain. Hanya kita. Hanya ada kita berdua yang beradu kebahagiaan di sebuah senja di pasir putih.
Ah, bahagia. Apa aku bahagia? Entahlah. Antara bahagia dan tidak. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Jujur, bukan kau yang ada dalam benakku saat ini. Bukan juga kenangan manismu. Tetapi, khayalan tentang sahabatmu. Yah, dia. Dialah yang mengusir bayangmu dari benakku. Dialah yang berdansa dalam pikiranku.
Maaf, sayang. Aku tak tahu bagaimana mengutarakannya, sedangkan kau, kau asyik dengan caramu sendiri. Tidak denganku.
***
Senja kian merayapi gelap yang datang bersama angin malamnya. Tak ada camar. Tak ada sunset. Hanya gemuruh ombak di hatiku yang meramaikan malamku denganmu. Temani kita yang tidur di atas pasir memandang kemilau bintang.

Jember, 30 November 2009
Phow

(Dimuat di Jambi Independent, 1 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar