Jumat, 20 Agustus 2010

Setelah Senja Itu...

Ada yang meletup-letup dari dadaku. Serasa menerjang-nerjang ingin keluar, menjebol dinding hati yang kokoh kubangun dari sejumput prinsip dan segenap keyakinan. Aku mencoba menahannya. Bersama dingin malam yang memekik, terus berusaha kukunci rapat-rapat dinding itu. Namun, tetap saja dia tak mau menyerah mematahkan kunci-kunci yang kupasang erat, bahkan sangat kuat.



Kembali menerjang-nerjang. Salah satu kunci mampu dia patahkan, dan yang satu lagi hanya menunggu hitungan menit setelah itu, patah, lepas, dan …, mungkin jika dinding itu jebol, dia akan meluber ke mana-mana, bahkan mungkin akan menenggelamkanku sendiri.

Tak banyak yang bisa kulakukan dalam situasi yang mencekam ini. Kuputuskan mengunci satu lagi pintu, yang kali ini aku yakin mampu meredam hasratnya untuk menerjang. Tak hanya itu, bahkan pintu ini akan mampu membungkamnya dan dia akan menyerah. Yah, kututup dan kukunci erat-erat alam pikirku dari bayangan seseorang.

Benar saja, dia bungkam. Lima menit berlalu. Tak ada gerakan perlawanan. Dia diam.

...

Praaaaakkkkk!!!!

Rupanya diam-diam dia membangun kekuatan dan berhasil menjebol satu-satunya pintu yang menjadi harapanku, pintu alam pikiranku. Tampak senyum lebar di wajahnya, sedikit memicingkan mata, tanda mengejek. Tanpa basa-basi, dia berbaur dan menghantam sunyi yang mendesaknya hingga terhimpit oleh berjuta rasa. Kini, menenggelamkanku dari sesaknya udara yang kuhirup.

Menjelmalah dia di hadapanmu sebagai sebuah kata yang sangat berat kuucap. Sayang. Matamu pun tebelalak dan benakmu terperanjat mendapatiku datang bersamanya di hadapanmu. Kau diam. Entah rasa seperti apa yang kini melindapi jiwamu.

“Maaf, aku tak mampu lagi menahannya. Dia begitu kuat untuk kulawan. Begitu kuat hingga menjebol dinding yang sudah kubangun dengan komitmen kita.” Tak terasa linangan air mata menyambut kalimat yang kuucap. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku yang saat itu mungkin semerah langit senja.

Kau hanya diam di balik jeruji sunyi yang mengurung jiwa kita, kala senja itu. Jika boleh menebak, hati kita sama-sama bergejolak seberti debur ombak yang menghempas karang di pantai itu.

“Aku tak mungkin menyayangimu, Rianti.”

Sepatah kalimat akhirnya muncul dari bibirmu. Aku tak mampu lagi menatap matamu yang memandang jauh ke laut lepas.

Kutanya mengapa, tapi tak pernah ada jawaban yang keluar dari mulutmu sepanjang senja. Hingga detik ini, masih tak ada jawaban. Entah apa yang membuatmu membisu tentang hal itu, aku tak begitu peduli. Entah perasaanmu masih sama seperti dulu atau berubah, aku juga tak begitu peduli. Karena aroma tubuhmu masih melekat pada ruang hatiku di cahaya emas terakhir yang memantul dari lautan, ketika itu. Karena namamu dalam terukir di relung hatiku. Karena bayangmu, tertanam di setiap ruang pikiranku. Karena dirimu, selalu bersangkar di sudut jiwaku. Dan, inilah yang membuatku merasa selalu dekat denganmu.

Entahlah, kau juga merasakan hal yang sama atau tidak…


Jember, 2 Oktober 2009
Phow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar